NEWS TIMES – Heroes of City, sebutan yang tepat disematkan untuk Kota Surabaya. Usainya massa penjajahan, berkat perjuangan Arek-Arek Suroboyo. Sejak saat itu, peninggalan kolonialisme seakan hanya menjadi pelengkap yang tergerus perkembangan zaman.
Seiring perjalanan waktu, Surabaya mulai menunjukan eksistensinya dalam hal sejarah. Jika di Jakarta ada Wisata Kota Tua atau disebut Oud Batavia. Saat ini di Surabaya ada Wisata Kota Lama yang baru diresmikan oleh Walikota Surabaya, Ery Cahyadai pada, Kamus 27 Juni 2024. Kedua daerah ini, syarat sejarah yang sama-sama memiliki massa kependudukan Belanda.
Kota Lama Surabaya sendiri dibagi empat zona, yakni zona Arab, Eropa, Melayu, dan Pecinan. Di zaman pendudukan Belanda, kawasan ini menjadi pusat pemerintahan, bisnis, hingga pertukaran budaya berbagai etnis.
Sementara itu, diresmikannya Wisata Kota Lama akan menambah khazanah untuk Surabaya yang aman, nyaman, dan menginspirasi interaksi toleransi yang rukun penuh persaudaraan.
NewsTimesStory merangkum Sejarah Kota Lama Surabaya :
Kota Lama Surabaya zona Eropa berada di Jalan Rajawali, Krembangan. Kawasan ini menjadi saksi sejarah perjuangan arek-arek Suroboyo setelah kemerdekaan Indonesia. Ketika itu, Belanda ingin menguasai dan menjajah kembali. Namun mendapat perlawanan yang sengit dari arek-arek Suroboyo, bahkan menggetarkan dunia karena terbunuhnya Perwira Angkatan Darat Britania yang lama bertugas di India, yaitu Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern (A.W.S) Mallaby di Jembatan Merah Surabaya.
Kala itu, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia baru dideklarasikan diberbagai daerah Nusantara, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun, nyatanya yang terjadi bukanlah sebuah akhir perjuangan, melainkan yang ada harus tetap berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan tersebut.
Hal ini ditandai dengan adanya pertempuran pertama antara pejuang rakyat Indonesia dengan pasukan negara asing setelah deklarasi kemerdekaan yang terjadi tepatnya di Surabaya yang lebih dikenal dengan sebutan Pertempuran Surabaya.
Pertempuran ini merupakan salah satu kejadian terbesar yang ada dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia serta menjadi simbol nasional yang menjadi bukti akan perlawanan Indonesia terhadap adanya kolonialisme.
Berdasarkan buku Pertempuran Surabaya (1985) yang merupakan sebuah karya yang dibuat oleh Nugroho Notosusanto menyebutkan, bahwa Pertempuran Surabaya yang terjadi merupakan pertempuran paling menegangkan yang menunjukkan semangat patriotisme tinggi para masyarakat Indonesia untuk membela bangsa Indonesia.
Kejadian ini juga dibahas dalam komentar Ricklefs pada bukunya yang berjudul A History of Modern Indonesia Since C.1200 yang menyatakan bahwa Pertempuran Surabaya yang terjadi merupakan pertempuran paling sering sepanjang masa revolusi.
Pihak Inggris sebagai bagian dari pertempuran ini memandang Pertempuran Surabaya tersebut sebagai laksana inferno atau neraka. Hal ini dikarenakan, rencana Inggris yang ingin menguasai Surabaya menjadi terlambat dua hari dari target waktunya yaitu tanggal 26 November yang disebabkan kegigihan para pejuang Bangsa Indonesia yang ada di Surabaya.
Walaupun pada akhirnya Surabaya secara keseluruhan tetap jatuh ke tangan Bangsa Inggris, dengan adanya kejadian Pertempuran Surabaya tersebut mengubah cara pandang atau perspektif Bangsa Inggris dan juga Belanda terhadap Indonesia.
Karena ada kejadian ini, Bangsa Inggris menjadi lebih mempertegas posisi serta kedudukannya sebagai pihak yang netral dan tidak perlu untuk mendukung Belanda. Selain itu, Belanda yang pada awalnya meremehkan semangat Indonesia mulai menyadari dan melihat perjuangan para pejuang yang ada dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Adanya hal tersebut, membuat para pejuang Indonesia mendapatkan dukungan luas dari berbagai kalangan masyarakat. Hal ini dilihat Belanda sebagai sesuatu yang berbeda dari gambaran mereka dan apa yang mereka bayangkan sebagai kelompok pengacau sporadis atau ekstrimis.
Latar Belakang Terjadinya Pertempuran Surabaya
Berdasarkan sejarah yang ada, awal terjadinya Pertempuran Surabaya dilatarbelakangi dengan adanya kedatangan pasukan sekutu pada tanggal 25 Oktober 1945 yang tergabung dalam AFNEI atau Allied Forces Netherland East Indies. Kedatangan pasukan AFNEI tersebut ke Surabaya tepatnya di Tanjung Perak dipimpin oleh seorang Jenderal yang bernama Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern (A.W.S) Mallaby yang kemudian membuat sebuah pos pertahanan.
Tujuan awal dari kedatangan sekutu tersebut adalah mengamankan tawanan perang, melucuti senjata para tentara Jepang serta menciptakan ketertiban setelah mengumandangkan kemerdekaan Indonesia. Hal ini dilakukan oleh pasukan sekutu dengan menyebar selebaran yang memiliki maksud agar masyarakat setempat menyerahkan senjata yang mereka miliki ke pihak mereka.
Adanya perintah pasukan sekutu tersebut membuat masyarakat Surabaya marah dan menolak untuk menyerahkan senjata yang mereka miliki kepada pihak sekutu tersebut. Hal ini yang pada akhirnya memicu adanya gerakan dari masyarakat Surabaya untuk melakukan penyerangan dengan maksud untuk mengusir pasukan sekutu tersebut.
Selain itu, para pasukan sekutu juga pada kenyataannya melakukan tindakan diluar tujuan awal mereka. Dimana pasukan sekutu yang kebanyakan pasukan Inggris tersebut pergi menyerbu penjara di Surabaya dalam upaya membebaskan tawanan pasukan sekutu lain yang ditahan di Indonesia. Para pasukan sekutu juga berusaha untuk mengambil alih serta menduduki berbagai tempat vital yang ada di Surabaya.
Sekutu di Indonesia
Kedatangan sekutu di Indonesia merupakan bagian dari komando SEAC atau South East Asia Command yang berada di bawah pimpinan Laksamana Louis Mountbatten. Namun, karena wilayah yang menjadi tanggung jawab SEAC masih terlalu luas, dibentuklah Allied Forces Netherlands East Indies atau AFNEI yang bertanggung jawab dalam wilayah Indonesia.
Tepatnya pada tanggal 29 September 1945, Komandan AFNEI yaitu Letnan Jenderal Philip Christison tiba di Jakarta. Tugas yang diberikan kepada AFNEI di Indonesia adalah melucuti senjata Jepang, memulangkan para tentara Jepang ke tanah air mereka, membebaskan sekutu yang berada di bawah tawanan Jepang, serta mempertahankan keadaan yang ada di Indonesia.
Sebelum hal itu terjadi, pada tanggal 24 Agustus 1945 adanya kesepakatan yang terjadi antara Inggris dan Belanda yang dimuat dalam Civil Affair Agreement, berisikan mengenai kemauan Inggris dalam membantu Belanda kembali berkuasa di Indonesia.
Oleh sebab itu, adanya resistensi dari para penduduk Indonesia atas kedatangan pasukan sekutu yang disebabkan perjanjian tersebut. Karena adanya hal tersebut, terjadinya pertempuran di berbagai tempat di Indonesia antara pasukan Indonesia dengan sekutu.
Kedatangan Inggris di Surabaya
Tim RAPWI atau tim Pemulangan Tawanan Perang Sekutu yang merupakan bagian dari AFNEI tiba di Surabaya pada tanggal 19 September 1945. Namun, kedatangan tim tersebut tidak disambut dengan baik dikarenakan tim tersebut tidak berkoordinasi terlebih dahulu dengan pimpinan Indonesia yang ada di Surabaya. Selain itu, tim Pemulangan Tawanan Perang Sekutu tersebut berisi perwakilan dari pihak Belanda.
Hingga pada akhir September, kedatangan Kapten Huijer yang merupakan seorang perwira Angkatan Laut Belanda ke Surabaya tanpa adanya izin dari pihak Inggris untuk menerima penyerahan Jepang.
Jepang menyerahkan berbagai alat transportasi, senjata anti pesawat, tank, dan masih banyak lagi pada tanggal 3 Oktober 1945 yang tak lama kemudian berhasil direbut oleh pasukan TKR dan berhasil menawan Kapten Huijer.
Dalam menjalankan misinya di Surabaya, pihak Inggris pada awalnya hanya mengerahkan Brigade Infanteri India ke-49 yang berada dibawah pimpinan komando Brigadir Mallaby yang memiliki kekuatan antara 4.000 hingga 6.000 pasukan. Para pasukan sekutu yang tiba Surabaya tersebut belum boleh mendarat sebelum mendapatkan izin dari pimpinan Indonesia yang ada di Jakarta. Hal tersebut yang menyebabkan terjadinya perundingan antara pimpinan sekutu dengan pimpinan Indonesia yang ada di Surabaya.
Pimpinan Indonesia yang ada di Surabaya pada saat itu adalah Gubernur Jawa Timur Suryo, Komandan TKR Karesidenan Surabaya dokter Moestopo, Residen Surabaya Sudirman, Radjamin Nasution, Ketua KNI Doel Arnowo, Ruslan Abdulgani, Djoko Sawondho, Rustam Zain, Djoko Sawondho, Mohammad, Inspektur Soejono Prawibismo, Moh Jassin, dan Mr. Masmuin.
Berdasarkan beberapa pertemuan yang dilakukan, pihak Indonesia menyepakati untuk memberikan izin bagi sekutu Inggris untuk memasuki kota Surabaya dan menempati beberapa objek yang sesuai dengan tugas mereka. Pihak Inggris juga mengatakan dan menekankan mengenai mereka yang tidak melibatkan NICA maupun para tentara Belanda dalam kedatangannya tersebut.
Pihak Inggris juga meminta agar para masyarakat biasa selain polisi, TKR, serta badan perjuangan untuk dilarang membawa atau menggunakan senjata agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Oleh sebab itu, antara kedua belah pihak disepakati pula untuk membentuk sarana komunikasi yaitu Kontak Biro.
Pertempuran Pendahuluan
Setelah terjadinya kesepakatan antara kedua belah pihak mengenai penguasaan di beberapa objek, pihak Inggris juga menduduki berbagai objek penting di Surabaya, seperti Kantor Pos Besar, Gedung BPM, pusat otomobil, pusat kereta api, hingga Gedung Internatio yang saat ini menjadi ikon di kawasan Destinasi Wisata Kota Lama Surabaya. Selain itu, pihak Inggris juga menangkap beberapa tokoh pemuda yang ada di Surabaya.
Sementara itu, salah satu peleton dari Field Security Section yang berada di bawah pimpinan Kapten Shaw menyerbu Penjara Kalisosok dalam upaya membebaskan Kapten Huiyer dan membebaskan para tawanan Belanda yang berada di kompleks Wonokitri pada tanggal 26 Oktober di malam hari.
Keadaan di Surabaya pun semakin memanas akibat adanya selebaran yang tersebar pada tanggal 27 Oktober melalui pesawat Dakota yang bertolak dari Jakarta. Selebaran tersebut juga disebarkan di berbagai wilayah Indonesia seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah yang telah ditandatangani oleh Mayor Jenderal Hawthorn.
Isi dari selebaran tersebut adalah ultimatum bagi para pasukan Indonesia untuk menyerah kepada pihak sekutu dalam waktu 48 jam atau menghadapi konsekuensi ditembak. Kejadian tersebut semakin menimbulkan rasa kebencian di Surabaya, yang membuat munculnya seruan di radio untuk mengusir pihak Inggris dari wilayah tersebut.
Melihat adanya berbagai tindakan yang dilakukan oleh pihak Inggris tersebut, semakin meyakinkan pihak Indonesia bahwa peperangan yang akan terjadi tidak lagi bisa dihindari. Oleh sebab itu pada tanggal 27 Oktober tepatnya pada pukul 2 siang, terjadi kontak senjata pertama antara pasukan pemuda PRISAI dan pasukan Gurka yang merupakan berasal dari pihak sekutu.
Selanjutnya, Mallaby juga mengikuti arahan yang ada pada selebaran untuk menguasai kendaraan berat yang dimiliki oleh pasukan Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1945. Pihak Inggris juga melakukan evakuasi terhadap wanita dan juga anak-anak dari kamp Gubeng dipindahkan ke barak Darmo.
Setelah terjadinya kejadian tersebut, berbagai pertempuran pun terjadi. Gabungan antara TKR, polisi, dan juga badan perjuangan yang mengadakan serangan serentak ke pihak Inggris yang ada di kota Surabaya. Karena penyerangan tersebut, pihak Indonesia berusaha untuk mengambil kembali hak atas tempat vital yang berada di bawah kedudukan pihak Inggris.
Serangan pihak Indonesia ini terjadi hingga 29 Oktober 1945 yang di kepalai oleh Komando Jenderal Mayor Yonosewoyo yang merupakan Komandan Divisi TKR, berhasil mendesak pihak Inggris.
Serangan Arek-Arek Surabaya
Perang yang terjadi antara kedua belah pihak yaitu masyarakat Surabaya dan pasukan sekutu Inggris pertama kali terjadi tepatnya pada tanggal 27 Oktober hingga 30 Oktober tahun 1945. Hal ini yang membuat Jenderal D.C.Hawthorn meminta bantuan dari Soekarno untuk mencari solusi dan meredakan situasi pada saat itu. Namun, dengan terjadinya bentrok terus menerus antara kedua belah pihak hingga menewaskan pemimpin sekutu Inggris yaitu Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby dengan kondisi mengenaskan di dalam mobil yang ditumpanginya tepat berada di Jembatan Merah yang saat ini menjadi kawasan Kota Lama. Mobil Mallaby, saat ini terpajang di Kota Lama sebagai bukti perjuangan Arek-Arek Suroboyo.
Mallaby tewas pada tanggal 30 Oktober 1945, yang kemudian posisi tersebut digantikan dengan Jenderal Robert Mansergh. Kemudian, Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan sebuah ultimatum yang ditujukan kepada masyarakat Surabaya pada tanggal 9 November 1945. Ultimatum tersebut berisikan sebagai berikut.
- Pemimpin Indonesia yang ada di Surabaya harus melaporkan diri
- Seluruh senjata yang dimiliki oleh pihak Indonesia yang ada di Surabaya harus diserahkan kepada pihak Inggris
- Pemimpin Indonesia yang ada di Surabaya harus menandatangani sebuah pernyataan bahwa mereka menyerah tanpa adanya syarat.
Ultimatum yang diajukan tersebut kemudian ditolak oleh pihak Indonesia, sehingga para pasukan Inggris mulai melancarkan serangan mereka pada tanggal 10 November di pagi hari yang menjadi awal dari pertempuran kedua belah pihak tersebut.
Pada pertempuran ini sendiri, terdapat setidaknya 20.000 tentara serta 100.000 sukarelawan di pihak Indonesia, sementara pada pihak Inggris terdapat setidaknya 30000 tentara yang juga dibantu dengan berbagai peralatan perang mereka, yaitu tank, kapal perang, serta pesawat tempur.
Pertempuran yang terjadi antara kedua belah pihak tersebut mengalami puncaknya tepat pada tanggal 10 November 1945, dimana terjadinya bentrok antara pasukan sekutu serta arek-arek Surabaya ketika pasukan sekutu tersebut hendak menyerang kota Surabaya Surabaya yang langsung dihadang oleh masyarakat Surabaya.
Pertempuran yang terjadi tersebut menghasilkan banyak korban jiwa pada kedua belah pihak. Namun, khususnya untuk masyarakat Surabaya yang kehilangan 20.000 korban jiwa akibat pertempuran tersebut, dimana pada pihak sekutu kehilangan kurang lebih 1.500 korban jiwa.
Pertempuran Surabaya ini berlangsung selama tiga minggu dimana menimbulkan berbagai kerugian besar bagi masyarakat di kota Surabaya dan juga Indonesia. Dalam usahanya melawan pihak sekutu tersebut, arek-arek Surabaya dipimpin oleh Bung Tomo yang mengumandangkan pidato berapi-api yang berhasil untuk membangkitkan semangat masyarakat Surabaya untuk melawan dan mengusir penjajah dari negara Indonesia.
Setelah satu tahun terjadinya pertempuran tersebut, Presiden Soekarno yang menjabat menjadi Presiden Negara Indonesia saat itu menetapkan bahwa setiap tanggal 10 November, masyarakat Indonesia akan memperingati hari tersebut sebagai Hari Pahlawan. Oleh sebab itu, hingga kini masyarakat Indonesia masih memperingati perjuangan para pahlawan dengan mengingat jasa para pejuang setiap tanggal 10 November.
Pertempuran yang hingga kini masih diperingati setiap tanggal 10 November oleh Bangsa Indonesia bukanlah perjuangan yang dilakukan satu hari saja, namun melibatkan berbagai pertempuran yang terjadi sejak akhir Oktober tahun 1945 hingga November 1945.
Dari pertempuran yang terjadi sendiri, dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu, pertempuran pendahuluan, pertempuran puncak yang terjadi pada tanggal 10 November, dan pertempuran akhir. Jika diperkirakan pejuang yang ikut terlibat akibat serangkaian pertempuran tersebut adalah 20.000 pasukan TKR yang datang dari berbagai penjuru Jawa Timur serta para rakyat pejuang yang mencapai 140.000 orang.
Itulah kisah sejarah perjuangan arek-arek suroboyo melawan sekutu yang wajib kita maknai. Untuk itu, maka para generasi muda bangsa harus belajar dan mengetahui sejarah perjuangan bangsa, dan di saat merdeka sekarang ini untuk terus mengisi kemerdekaan dengan karya-karya cemerlang dari penerus perjuangan pahlawan.
Perjuangan kita saat ini juga berat dan membutuhkan partisipasi seluruh elemen warga kota. Tunjukkan semangat kepahlawanan dengan kepeloporan untuk menguatkan kerukunan, persaudaraan, dan persatuan.
Sumber: Gramedia
Cek Berita dan Artikel yang lain di WhatsApp Channel & Google News