Gen Z, Generasi Toxic Productivity, Benar atau Fakta ?

93
hiburan-gen-z-generasi-toxic-productivity-atau-korban-budaya-toxic-productivity
Ilustruasi

NEWS TIMES – Sobat Newstimes.id, kini kita akan membahas peran serta generasi muda (Gen Z) di era society 5.0 yang serba melibatkan media sosial dalam kehidupan sehari-hari dan apa itu Generasi Toxic Productivity. Yuk, simak artikel yang Alifia buat untuk kalian !

Banyak orang di media sosial, seperti TikTok, Twitter, dan Instagram, mengatakan Gen Z adalah generasi yang paling terobsesi dengan toxic productivity. Sebagai bagian dari Gen Z sendiri, meskipun saya ingin menyangkal pernyataan ini, saya rasa itu memang benar.

Pertama ketika kita ingin membahas fenomena Toxic Productivity pada Gen Z, kita akan membahas tentang FOMO (Fear Of Missing Out). Memasuki era society 5.0 yang melibatkan teknologi ke dalam kehidupan kita secara lebih intensif, individu dituntut untuk selalu berkembang dan belajar agar tidak tertinggal dari individu lain. Sehingga menyebabkan obsesi yang tidak sehat dengan kata lain, fenomena ini disebut dengan FOMO (Fear Of Missing Out) (Diandra Adjiwibowo et al., 2023).

Kondisi ini, menyebabkan individu terlebih lagi generasi muda terus-menerus “dipaksa” untuk selalu bekerja dan beraktivitas di setiap waktunya untuk meningkatkan nilai diri mereka.

Ditambah lagi dengan doktrinasi dari berbagai sumber motivasi, baik dari keluarga maupun figur publik, bahwa semakin sedikit waktu yang kita miliki. Dalam arti semakin kita merasa bahwa waktu 24 jam sehari tidak cukup, dianggap sebagai indikator bahwa kita berada di jalur yang benar.

Di sisi lain, jika kita memiliki banyak waktu luang, anggapannya adalah kita tidak produktif dan tidak memanfaatkan waktu dengan baik.

Adanya Linkedin, yang seharusnya mempermudah dan berdampak positif untuk kehidupan kita dalam memperoleh kerja juga justru menjadi boomerang.

Tanpa disadari, adanya Linkedin sebagai platform dalam membagikan prestasi-prestasi individu menimbulkan rasa insecure dan mendorong orang untuk selalu bersaing dalam pencapaian karena takut tertinggal.

Tren di Linkedin juga memberikan pemahaman yang salah kepada Gen Z dengan anggapan bahwa tujuan kuliah adalah fokus berorganisasi demi “mempercantik” CV untuk magang atau internship dan menjadi bekal untuk mencari kerja di masa depan.

Dunia perkuliahan bukan lagi terpusat dan terfokus pada akademik, menambah ilmu, dan pengaman. Namun hanya sebagai gelar sebagai batu loncatan dalam melewati tahap administrasi rekrutmen pekerjaan. Hal ini mendorong Gen Z untuk selalu mengejar pencapaian yang melebihi kemampuan mereka dan terjebak dalam kesibukan tanpa henti.

Dilanjut lagi dengan adanya komunitas studytwt di media sosial yaitu twitter sebagai komunitas belajar bersama, berbagi materi, dan saling update progress belajar. Namun, di balik tujuan positifnya, studytwt justru memperparah budaya toxic productivity pada Gen Z.

Hal ini karena banyaknya pelajar yang memamerkan durasi belajar mereka yang panjang, bahkan mencapai belasan jam dalam sehari. Fenomena ini memicu persepsi yang keliru di kalangan Gen Z bahwa belajar belasan jam sehari adalah hal yang normal dan patut dibanggakan.

Faktanya, hal ini sangatlah memprihatinkan dan tidak sehat, karena durasi belajar tersebut tidaklah normal dan kemungkinan besar disertai dengan kebiasaan begadang.

Terlepas dari banyaknya bukti yang menunjukkan karakteristik Toxic productivity pada Gen Z, mengapa tidak ada yang pernah mencoba memahami mereka? Apa yang mendasari ?

Tindakan mereka, Apa yang membuat Gen Z seperti ini ?

Salah satu jawaban yang paling sering diberikan adalah karena adanya batas maksimal usia kerja. Banyak perusahaan yang memberikan batasan usia maksimal 25 tahun.

Hal ini sangat tidak masuk akal jika dibandingkan dengan kesempatan mendapatkan pekerjaan di luar negeri yang lebih fleksibel. Ditambah lagi fresh graduate yang masih berusia di awal 20 tahun “dipaksa” untuk menentukan karir dan tujuan hidup mereka lebih awal.

Padahal, di usia tersebut mereka masih terbilang muda dan memiliki banyak waktu untuk mengeksplorasi berbagai peluang dan mencoba berbagai hal sebelum menentukan jalur karir yang tepat.

Fenomena toxic productivity pada Gen Z menjadi masalah serius yang perlu ditangani lebih lanjut. Budaya hustle culture yang dipopulerkan di media sosial, pada akhirnya mendorong Gen Z untuk terus menerus bekerja tanpa henti dan mendorong diri sendiri untuk melampaui batas kemampuan diri sehingga akhirnya menjadi gaya hidup.

Hal ini diperparah dengan FOMO (Fear Of Missing Out) yang juga menjebak Gen Z dalam perlombaan untuk selalu terlihat “produktif” di media sosial dan terobsesi dengan pencapain diluar batas kemampuan.

Oleh karena itu, dibutuhkan perubahan mindset dari individu, keluarga dan masyarakat secara luas bahwa nilai diri seseorang tidak hanya ditentukan oleh pencapaian semata sebagai langkah awal dalam menghilangkan fenomena toxic productivity pada Gen Z.

Penulis : Alifia Faizatus Salsabila

Editor : Basri/ Newstimes.id

Cek Berita dan Artikel yang lain di WhatsApp Channel & Google News