Dua Organisasi HAM Tolak Gelar Pahlawan untuk Soeharto dan Sarwo Edhie

0
16
dua-organisasi-ham-tolak-gelar-pahlawan-untuk-soeharto-dan-sarwo-edhie
Aktifis menolak usulan pemberian gelar pahlawan untuk mantan presiden kedua Soeharto. (Foto: Ist)

NEWS TIMES – Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden kedua Republik Indonesia Soeharto dan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo menuai penolakan keras dari dua organisasi hak asasi manusia terkemuka, Amnesty International Indonesia dan Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI).

Keduanya menilai keputusan tersebut sebagai bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi dan upaya pemutihan sejarah pelanggaran HAM masa Orde Baru.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan bahwa pemberian gelar kepada Soeharto mencederai nurani publik serta menafikan penderitaan korban pelanggaran HAM yang terjadi selama tiga dekade kekuasaannya.

“Soeharto bukan sekadar melakukan kesalahan, tetapi juga kejahatan terhadap kemanusiaan. Memberinya gelar pahlawan berarti menghapus memori kolektif bangsa terhadap korban dan sejarah kelam masa lalu,” ujar Usman dalam keterangan resminya di Jakarta, Senin (10/11/2025).

Lebih lanjut, Usman menyoroti bahwa selama masa Orde Baru, berbagai pelanggaran HAM terjadi secara sistematis mulai dari pembunuhan massal 1965–1966, pengekangan kebebasan sipil, pembredelan media, hingga operasi militer di Aceh, Papua, dan Timor Timur.

“Penghargaan negara seharusnya diberikan kepada tokoh yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan keadilan, bukan yang mewariskan luka sejarah,”kata Usman.

“Reformasi tidak boleh diputarbalikkan. Jika negara melupakan pelanggaran masa lalu, maka demokrasi Indonesia kehilangan maknanya,” tutupnya.

Sementara itu, Koordinator Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) Rani Prasetyo menilai, keputusan pemerintah sebagai pemutarbalikan sejarah yang berbahaya bagi generasi muda.

Ia menyebut bahwa tindakan ini justru memperkuat budaya impunitas di Indonesia.

“Negara seharusnya menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu, bukan memberikan penghargaan kepada pihak yang diduga terlibat. Ini bukan sekadar penghargaan, melainkan pesan politik, bahwa pelanggaran masa lalu bisa dilupakan,” tegas Rani.

Pihaknya juga menyoroti adanya konflik kepentingan dalam penetapan gelar, terutama karena sebagian anggota Dewan Gelar Pahlawan Nasional dinilai memiliki kedekatan historis dan politis dengan pihak keluarga penerima.

Kontroversi ini mencuat setelah pemerintah mengumumkan daftar penerima gelar Pahlawan Nasional 2025 menjelang peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2025.

Selain Soeharto, nama Jenderal Sarwo Edhie Wibowo komandan RPKAD pada peristiwa 1965 juga masuk dalam daftar penerima, menambah ketegangan politik di ruang publik. Media sosial dipenuhi kritik dan perdebatan antara kelompok pro dan kontra, memperlihatkan bahwa luka sejarah 1965–1998 masih jauh dari sembuh.

Desakan untuk Meninjau Ulang
Amnesty dan AKSI mendesak pemerintah untuk meninjau ulang keputusan tersebut serta membuka kembali penyelidikan atas berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa Orde Baru.

Keduanya menilai, penghargaan negara tanpa keadilan bagi korban hanya akan memperdalam krisis moral bangsa.

Writer : Wahyu /Newstimes.id

Cek Berita dan Artikel yang lain di WhatsApp Channel & Google News

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here